My Problem and I

Photo by Ahmed Aqtai



Bismillahirrahmanirrahim....
Kalian pernah ngga merasa,”Kok aku gini-gini aja ya?” 
Masalah datang bertubi-tubi tapi tidak ada improvement yang berarti dalam diriku.

Belakangan, aku merasa seperti itu. Mulai merasa bosan dan tidak antusias dengan apapun yang ku lakukan. Apakah ini karena kurang bersyukur? Apakah karena kurang challenge karena berada di comfort zone? Atau karena sejatinya aku belum lulus dari ujian yang kemarin, sehingga aku berputar di ujian yang sama tanpa sadar aku sedang manjalani program remedial? Lucu ya, ujian hidup ada remedialnya. 

Kurang bersyukur?
Memangnya syukur itu apa sih? Kalau yang ku pahami sebelumnya, syukur itu merasa cukup. Tapi pengertian ini jadi mirip-mirip dengan qonaah. Nah, jadi syukur itu yang seperti apa? 

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS. Ibrahim [14]:7)

 

Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS. Al-Baqarah [2]:152)

Ternyata banyak ayat Al-Quran yang membahas tentang syukur ini. Hal apa yang perlu dilakukan sampai kalau kita lakukan Allah akan menambah nikmat, dan jika tidak kita lakukan bisa saja Allah memberi azab yang pedih. Clue-nya mungkin di bagian kata “mengingkari”. Kalau bersyukur berarti “tidak” mengingkari nikmat yang Allah berikan. Bagaimana kriteria tindakan yang tidak mengingkari nikmat? Aku coba pakai analogi orang yang memberikan hadiah kepada orang lain. Aku akan senang dan merasa bahwa hadiahku diterima jika sang penerima :

  1. Senang saat menerimanya.
  2. Mengucapkan terimakasih saat menerimanya.
  3. Menggunakan atau memakai hadiah itu dengan baik.
  4. Menjadikan hadiah itu bermanfaat untuk dirinya dan/atau orang lain.
Tentu tidak mungkin menyamakan aku dan Allah yang Maha dari segala Maha. Namun, jika aku saja manusia yang penuh kurangnya ini memahami konsep hadiah-hadiahan ini seperti ini, tentu kalau kita ke Allah harus lebih baik dan lebih totalitas. 

Jika ku ingat-ingat lagi, memang diriku ini masih belum memenuhi ke-empat standar yang bahkan ku buat sendiri itu. Karena pemberian Allah itu luar biasa banyak, aku sering lalai dan menggampangkan. Astaghfirullah… jika hadiah itu menurutku menyenangkan, aku senang. Tapi, kalau sebaliknya aku bisa saja berkata kasar, sedih tak berkesudahan, atau bahkan tidak mau mengakui dan menerimanya. Astaghfirullah. Padahal, persepsi kita sangat dekat dengan nafsu. Yang menurut kita buruk belum tentu tidak baik, bahkan mungkin itu yang kita butuhkan agar kita bisa jadi lebih baik ke depannya. 

Bahkan, kadang diri ini belum menggunakan nikmat yang Allah berikan untuk hal-hal yang baik. Sesimpel waktu luang. Aku masih lebih sering memperturutkan rasa malas dari pada cuci piring, menyicil pekerjaan, atau sesimpel baca buku. Ada lagi, Allah sudah memberikan fisik yang masyaallah sangat baik, tapi kurang ku jaga hingga akhirnya muncul sakit, stres, belum ditutup secara sempurna auratnya, atau tidak menggunakannya untuk hal-hal baik. Astaghfirullah. 

Ternyata aku sejahat itu ke Allah. Bahkan, dengan perilakuku yang buruk ini Allah tetap memberikan nikmat yang melimpah. Akunya saja yang selalu menganggap itu sebagai hal yang kurang dan kuraaang terus. Kenapa begitu? Apalagi penyebabnya kalau bukan karena membandingkan diri dengan orang lain dan ingin memenuhi standart yang orang lain atau dunia ini tetapkan. Aku belum jadi diriku sendiri, aku masih menggantungkan diri dengan ekspektasi manusia. Astaghfirullah… kaya gini kok sok sokan mau jadi leader, jadi pemimpin buat diri sendiri saja masih amburadul. 

Masih di comfort zone?
Apa iya aku masih di zona nyamanku? Salah satu hal yang tidak aku sukai adalah konflik. Sehingga, apapun yang ku lakukan harus punya potensi konflik seminimal mungkin. Itu yang diinginkan oleh diriku. Tapi, apakah aku harus menurutinya? 

Aku pernah berada dalam situasi konflik yang menyebabkan diriku banyak marah, menangis, merenung, stres, hingga menyakiti diriku sendiri. Bahasa bekennya self harm. Orang bilang itu mentalnya sedang tidak baik-baik saja. Akupun pernah mengamini itu hingga aku benci “masalah”. Aku ingin hidup damai aman sejahtera tanpa masalah. Is it possible? Apakah sikapku yang menjadikan “masalah” sebagai sang penjahat adalah opsi yang terbaik? 

Dengan menyalahkan “masalah” aku tidak merasa lebih baik, bahkan malah jadi lebih amburadul. Kepalaku rasanya penuh dan badanku merespon dengan datangnya beragam penyakit, masuk angin lah, batuk setahun lah, sakit pinggang lah, sakit gigi lah, sakit perut lah, dll. Jompo sekali bukannn… Lagi pula mau disalahkan seperti apapun, masalah itu tetap ada. Hahhaa…

Jadi, daripada menghindari masalah atau mengkambinghitamkan masalah, lebih baik memperbaiki cara kita melihat masalah. Aku sedang belajar untuk melihat masalah sebagai salah satu nikmat yang Allah berikan. Jadi harus balik ke bahasa yang sebelumnya. Embrace the problem, do our best, and let Allah do the rest. Masalah itu datangnya dari Allah, jadi pasti Allah Maha Tahu solusinya. 

That’s it and stop the drama. Hahahaa

Remedial?
Aku pernah di situasi yang kayaknya mirip seperti sebelumnya. Aku sendiri merasa kemarin memang belum maksimal saat menghadapi masalah itu, hingga Allah datangkan kembali masalah yang sama seperti untuk remedial ujian hidup. Dan kadang bodohnya aku, sudah tahu kemarin kurang maksimal, eh masih pakai cara yang sama. Tak lama kemudian, muncul lagi masalahnya. Astaghfirullah….

Bodoh kali memang manusia namanya Rahmi Rahayu ini. 
Akhirnya, ya tidak ada improvement yang aku rasakan. Dalam hal ini, memang aku harus belajar untuk mengambil resiko. Dari alternatif yang aku coba itu, kalaupun gagal setidaknya ada usaha yang dilakukan. Akhirnya jadi tahu kalau ini dan itu tidak sesuai berarti harus cari jalan yang lain. 

Padahal kalau kita mau flashback ke waktu kecil dulu. Dari yang tidak bisa apa-apa akhirnya Allah izinkan bisa ini dan itu. Kok bisa ya? Apalagi caranya kalau bukan karena kita mau bangkit lagi setelah gagal. Untuk bisa berjalan mungkin kita harus jatuh berkali-kali. Untuk bisa minum dari gelas mungkin kita perlu tersedak beberapa kali, untuk bisa berbicara kita perlu salah ngomong berulang kali. Tapi setelah dewasa kenapa aku jadi cupu? Takut gagal, takut diketawain orang, takut kalau nanti begini dan begitu. Pantas saja tidak ada improvement yang aku rasakan. 

Yuk, belajar lebih percaya sama Allah. 
Allah yang mengajari dan mendidik kita.
Allah yang menjadi tujuan kita.
Allah lah yang menjadi bos kita. 
Allah yang harus senantiasa menjadi alasan bagi setiap langkah kita. 

Ternyata seseru ini bisa menuliskan refleksi diri. Padahal awalnya aku malas sekali, tapi Allah izinkan untuk lanjut terus sampai akhir. Alhamdulillah…

Posting Komentar

0 Komentar