https://theprintnews.co.uk |
Media sosial merupakan platform yang menyenangkan untuk berekspresi. Selain itu, kita bisa berkomunikasi atau istilah alimnya menyambung silaturahmi dengan teman-teman yang bahkan tidak bisa kita temui setiap hari. Luasnya cakupan media sosial juga memungkinkan kita untuk melihat perkembangan tren dan informasi terkini. Tak sedikit yang menjadikan media sosial sebagai sumber informasi harian mereka. Ada pula yang menggunakan media sosial untuk mengikuti akun idola mereka atau bahkan yang lebih ekstrim adalah menjadikan platform tersebut sebagai sarana untuk stalking seseorang. Hayo siapa yang pernah jadi FBI dadakan. Hahaha...I am kidding.
Begitu banyaknya aktivitas yang bisa dilakukan di media sosial, menjadikan beberapa orang tidak bisa lepas dan malah jadi tergantung dengan beberapa aplikasi tertentu, sebut saja Instagram, Facebook, Twitter, Youtube, dll. Setiap bangun tidur yang dibuka pertama kali adalah media sosial. Saat bosan di situasi tertentu yang dibuka juga hal yang sama, bahkan saya mengamati ada yang sampai menunjukkan gimik sok sibuk ala pekerja kantoran, padahal yang dibuka ya media sosial (padahal sikap seperti ini bisa membuat orang di sekitar kita jadi kikuk, takung ganggu, de el el). Tahap yang lebih akut dari ketergantungan media sosial adalah setiap buka HP tanpa sadar langsung buka media sosial, padahal tidak ada notifikasi apapun (ngarep-ngarep ada tambahan "like" atau "follower", hehe).
Ini bukan sindiran, karena saya sendiri mulai terjangkit gejala ketergantungan tersebut. Kadang, saya menggunakan media sosial sebagai pelarian dari beberapa tugas-tugas atau pekerjaan yang saya anggap sulit. Bahkan tanpa sadar durasi penggunaan media sosial saya semakin meningkat. It can be more that two hours. Ini berarti saya menghabiskan waktu lebih dari dua jam untuk melakukan sesuatu yang sama sekali tidak produktif. Tingkat stres juga meningkat karena saya mulai membandingkan diri saya dengan teman-teman atau public figure yang saya ikuti di Instagram. Akibatnya semangat juang menurun, sering menyalahkan diri sendiri, dan merasa bahwa hidup saya gini-gini aja, tidak ada progressnya. Saya mulai tidak menghargai setiap hal yang telah saya lakukan (sikap perfeksionis yang salah tempat). Hal ini terus berlanjut hingga sampai pada tahapan saya membenci diri saya sendiri. Saya tidak paham psikologi, tapi saya merasa ini bukan hal yang benar. Tidak seharusnya saya membenci diri yang selama ini saya ajak berjuang. (Udah kaya bahasa motivator kan ya, hahahaha)
Rasa tidak nyaman dengan diri sendiri itulah yang akhirnya menggiring saya untuk mencari solusi. Selama pencarian solusi itu ada beberapa pertimbangan dan tanggapan yang saya dapatkan terkait masalah ketergantungan ini. Ada yang mengatakan bahwa ini bagian dari quarter life crisis, ada yang mengatakan,"Ah itu perasaan kamu doang kali, udah ngga usah terlalu dipikirin" (geleng-geleng kepala sama ngelus dada tiap dapet tanggapan ini, "Baiklah" gitu aja terus jawabnya karena udah males debat, hehehe). Ada juga yang memberi solusi untuk mengatur waktu sedemikian rupa supaya bisa mengurangi penggunaan media sosial. Saya pernah mencoba solusi ini, tapi tetap saja saya tidak bisa menahan diri dari godaan notifikasi. Hasilnya ya gitu, bisa ditebak sendiri. Terlalu menyedihkan untuk diungkapkan. Hahaha. #ApasihYuk.
Nah, hingga pada suatu hari saya melihat video di Youtube tentang Social Media Detox. Ini merupakan cara mengurangi atau menghilangkan ketergantungan pada media sosial dengan tidak membuka media sosial sama sekali. Kaya puasa medsos gitu. Akhirnya, saya putuskan untuk mencoba dengan melakukan deactivate pada akun-akun media sosial saya. Hasilnya lumayan berhasil. Dalam kurun waktu kurang lebih setengah bulan saya berhasil bertahan. Namun, setelah dua minggu itu saya kembali menggunakan medsos (bisa ditebak lah ya situasi sesudahnya bakal kaya gimana, I was stressed out again). Saya melakukan deactivate lagi, dan setelah beberapa waktu saya kembali menggunakan media sosial. Siklus inilah yang terus menerus terulang hingga pada suatu hari saya mendapat tamparan keras dari situasi masalah personal.
I found myself as a dumb and stupid person. I do hate myself like I want to change into someone else. However, I still believe I can be stronger than before and deserve to get better situation.
Akhirnya saya memutuskan untuk melakukan detox sosial media dengan durasi yang lebih lama dari biasanya, selama satu bulan. Saya berkomitmen untuk tidak membuka akun saya dan menahan diri untuk tidak membuat status apapun atau membuka status orang lain di berbagai platform. Tentu ini sangat membatasi penggunaan HP. Awalnya, saya merasa seperti orang yang baru saja kehilangan sesuatu (kadang bengong karena saking gabutnya, bahkan pernah suatu saat saya ngigau pas tidur gara-gara mimpi buka Instagram, kaya orang gila).
Tapi makin lama saya mulai menikmati masa-masa penuh ketenangan ini. Saya bisa memiliki lebih banyak waktu untuk melakukan hal-hal yang lebih produktif seperti membaca buku, dan menulis. Saya juga mulai mendaftarkan diri untuk mengikuti seminar dan workshop agar dapat berinteraksi dengan orang-orang secara nyata dan memperluas jaringan. Hal ini juga bisa membuat kita mendapatkan vibes yang baru dan positif lho. Selain itu, saya juga mulai menyadari bahwa apapun yang orang lain tampilkan di media sosial belum tentu mencerminkan hal yang sama. Everybody has her or his own behind the scene, yang kita sendiri tidak tahu seberapa sulitnya. Rasanya terlalu sia-sia untuk hanyut dalam rasa iri dan menyalahkan diri sendiri. Lebih baik menggunakan waktu itu untuk hanyut dalam pencarian keunikan diri dan tujuan hidup. (Dalam hati,"Kenapa baru kepikiran sekarang buat take action kaya gini ya...?"). Tapi, saya tetap bersyukur bisa sampai ke tahap ini. Alhamdulillah...
Metode yang saya terapkan ini mungkin bukan satu-satunya cara untuk mengatasi ketergantungan pada media sosial. Tapi metode ini pantas untuk dicoba jika kalian merasakan gejala-gelaja yang tadi saya sebutkan. Karena, adanya teknologi itu pada dasarnya untuk mempermudah hidup kita. Kalau hadirnya feature teknologi malah mengganggu produktifitas atau malah membuat kita hilang arah maka perlu adanya evaluasi diri. Temukan metode terbaik untuk membantu kita menjadi controller bagi teknologi yang kita gunakan. Bukan malah menjadi yang dikontrol oleh teknologi. Nah, kalau kalian punya alternatif lain bisa juga di share di kolom komentar ya.
Our smartphones need smart user. Yuk, lebih bijak memanfaatkan waktu dan smartphone kita. It's just a tool, man. Good luck!
0 Komentar