By Rahmi Rahayu
premiertraining.co.uk |
Ternyata saya bodoh. Itulah yang saya pikirkan usai berdiskusi dengan salah satu rekan pengajar di sekolah. Awalnya kami hanya membahas project program pendidikan yang akan kami jalankan dalam waktu dekat, kemudian pembahasan terus berlanjut pada kualitas pengajar atau lebih spesifiknya guru saat ini. Diskusi semakin mengerucut pada pengetahuan guru tentang kondisi pendidikan terkini dan kemampuan literasinya demi mengejar perkembangan zaman. Bukan bermaksud menghakimi guru-guru di luar sana, justru sebaliknya saya menengok diri saya sendiri dan menemukan betapa kurangnya saya menggunakan kemampuan membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan. Padahal, kalau ditengok ke belakang, alhamdulillah saya sudah dapat menggunakan kemampuan ini semenjak SD. Namun, karena sikap kurang bersyukur tersebut, akhirnya saya menjadi manusia out of date.
Baiklah, saya tahu kondisi saya dan tidak ada gunanya terus menyesalinya. Akhirnya, saya langsung meminjam buku dari Warung Baca Sahabat Senja dengan judul Adversity Quotient: Mengubah Hambatan Menjadi Tantangan yang ditulis oleh Paul G. Stoltz, PhD. Beliau adalah konsultan di bidang kepemimpinan dan sering menjadi pembicara untuk topik-topik berkenaan dengan AQ, singkatan Adversity Quotient. Awalnya saya tidak tahu sama sekali topik ini. Yang saya tahu hanyalah IQ (Intelligent Quotient) dan EQ (Emotional Quotient). Itupun sumbernya hanya dari pembahasan di kelas pada saat kuliah dulu tanpa melihat langsung sumber utamanya (udah jaman baheula banget kan).
Setelah satu minggu berlalu, akhirnya saya selesai membaca buku tersebut. Ide tentang AQ ini memang keren karena pas dengan kondisi saya yang sedang membutuhkan penguat dari luar (galau gitu ceritanya, hehe.) Bahkan, sedikit banyak buku ini mampu memberikan saya pandangan baru tentang arti sebuah masalah atau kesulitan dan reaksi yang seharusnya ditunjukkan untuk meresponnya. Nah, supaya ilmunya bisa bertahan lama kali ini saya ingin membahas beberapa poin menarik yang ada di buku ini. Namun, tulisan ini bukan dimaksudkan seperti book review yang biasanya dipaparkan di beberapa web ataupun media cetak. Pembahasan ini hanya ditujukan untuk sharing informasi dan pengingat bagi saya. Baiklah, mari kita mulai.
Pada halaman awal, Stoltz membahas tentang pendaki Gunung Everest, Beck Wethers, yang berhasil selamat dari badai ganas yang menerpa saat pendakian. Hampir dipastikan tidak ada yang mampu selamat dari badai tersebut, namun Wethers mampu membuktikan betapa kuatnya tekat dalam diri manusia hingga mampu mengalahkan ganasnya salju di Gunung Everest. Dari kasus ini, saya mulai memahami bahwa AQ diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk bertekat dan bangkit kembali dari segala bentuk kesulitan yang datang dalam kehidupannya. Saking hebatnya AQ ini, Stoltz mengklaim AQ lebih akurat dalam meramal kesuksesan seseorang dibandingkan dengan IQ da EQ.
Hidup bagaikan gunung
Stoltz menggambarkan kehidupan ini seperti mendaki gunung dan sudah fitrahnya manusia mempunyai insting pendaki. Namun, tipe-tipe pendaki tersebut diklasifikasikan kembali menjadi tiga jenis, antara lain quitters (mereka yang berhenti, menyerah sebelum mendaki atau berusaha), campers (mereka yang berkemah, orang yang sudah mulai mendaki namun kemudian terlena dengan kenyamanan di camp hingga akhirnya melupakan tujuan utamanya untuk mencapai puncak), dan climbers (para pendaki atau orang yang berhasil mencapai tujuannya). Dilihat dari penjelasan singkatnya, pasti dengan mudah kita dapat mengidentifikasi orang-orang dengan tipe-tipe ini di sekitar kita.
Salah satu contohnya adalah salah satu teman saya yang telah divonis sakit kista. Dokter mengatakan bahwa kistanya sudah besar. Namun apa yang dia lakukan? Mengurung diri? Tidak, dia mempelajari penyakit tersebut dari referensi yang terpercaya, mencari dokter yang cakap, mencari referensi makanan yang baik untuk menekan pertumbuhan kistanya, diet, dan olahraga. Selama tiga bulan dia menjalani hidup sehat berdasarkan hasil researchnya dan akhirnya dia dinyatakan bebas dari kista. Sungguh pencapaian yang luar biasa dari seorang climber satu ini. Dia mempunyai IQ tinggi yang menggerakkanya untuk tidak menyerah pada kesulitan. Kalau saja dia ber-AQ rendah (misal sebagai seorang quitter), bisa saja dia berdiam diri dan pasrah dengan keadaannya. Hingga akhirnya dia harus menjalankan operasi atau hal lain yang lebih buruk.
Seperti pernyataan awal, hidup itu seperti gunung dan kita sebagai pendakinya. Sehingga, kita harus terus mendaki sepanjang kehidupan kita. Tentu kesulitan tidak datang hanya sekali. Banyak kejadian-kejadian yang kita anggap sebagai kesulitan hingga kadang kita memutuskan untuk berhenti dan menjadi seorang campers yang pasrah dengan kondisi diri (zona nyaman). Kita merasa bahwa perjuangan kita sudah cukup padahal tujuan utamanya belum tercapai. Atau bahkan kita menganggap segala hal sebagai suatu yang sulit hingga kita memilih menjadi seorang quitter dan mengatakan,"Ah, itu teralu sulit, saya tidak bisa melakukannya." Atau, "Saya memang tidak punya kemampuan pada hal tersebut."
Jika kita berpikir untuk menjadi dua tipe tersebut, quitter dan camper, mari kita ingat sealu kalimat berikut;
Dari semua kata sedih yang terucap atau tertulis, kata-kata yang paling menyedihkan adalah, "Seandainya dulu....!" (John Greenleaf Whittier, Maud Muller, 1856, Stanza 53)
Tiga batu pembangun AQ
Batu 1 : Psikologi Kognitif
Hal pertama yang diperhatikan adalah ketidakberdayaan yang dipelajari. Hal ini disadarkan pada penelitian Martin Seligman dari University of Pennsylvania pada beberapa anjing yang diberi kejutan listrik ringan. Dari hasil penelitian tersebut anjing yang tidak diberitahu caranya menghentikan sengatan listrik itu akan pasrah saja pada keadaannya tanpa berusaha mencari jalan lain untuk menghentikan sengatan listrik tersebut. Akhirnya, beliau menyimpulkan bahwa ketidakberdayaan yang dipelajari itu menginternalisasi keyakinan bahwa apa yang dipelajari atau dilakukan tidak ada manfaatnya.
Selain itu, ada pula teori atribusi dan optimisme. Dalam hal ini Carol Dweck dari University of Illinois mengungkapkan bahwa anak-anak yang mengecap dirinya "bodoh" belajar lebih sedikit daripada anak-anak yang menganggap penyebab kesulitannya bersifat sementara, seperti "Saya kurang bersungguh-sungguh."
Nah lhooo, siapa nih yang suka bilang,
Ada satu lagi kecocokan hasil penelitian Carol Dweck dengan temuan saya di lapangan. Yakni, adanya perbedaan anak perempuan dan laki-laki dalam merespons kesulitan. Beliau menyatakan bahwa anak perempuan cenderung menganggap kesulitan tersebut dapat berlangsung lama dan dapat mempengaruhi aspek kehidupan yang lain. Misalnya, anak perempuan yang dikejar deadline mengatakan,"Aduh, kalau tugasnya ngga selesai nanti diomelin Bu Guru, terus nilainya pasti jelek. Nanti gimana tanggapan Papa Mama. Aku takuuuttt..." Alih-alih mengatakan hal tersebut, anak laki-laki akan langsung to the point pada tugasnya tanpa berfikir kemana-mana. Kondisi inilah yang terjadi dalam diri saya dan beberapa peserta didik saya. Saya sering sekali panik saat kesulitan datang dan cenderung menyalahkan diri saya atas hal buruk yang terjadi. Situasi yang sama juga sering terjadi pada peserta didik perempuan yang salah saat mengerjakan soal atau saya minta untuk berbicara. Mereka akan berkata,"Saya memang tidak bisa Bahasa Inggris, Ms," atau "Aduh kalo salah gimana ms? Nanti kalo nilainya jelek diomelin Mama."
Dweck mengatakan ini adalah efek gaya didikan pada waktu kecil yang akhirnya mempengaruhi cara mereka merespons kesulitan di masa depannya. Tentu ini tidak menutup kemungkinan ada anak perempuan yang mempunyai respon berbeda ya, hanya saja banyak anak perempuan yang memiliki kencenderungan seperti itu. Bahkan saya menemui ada banyak teman perempuan saya yang kuat dan biasa saja saat menjumpai kesulitan.
Pada poin ini, Stoltz juga menyinggung tentang keuletan atau tahan banting. Beliau menyatakan bahwa orang yang memiliki keuletan dalam menghadapi kesulitan dapat memiliki kehidupan yang lebih sehat dan kualitas hidup yang lebih baik dari pada orang yang berpikiran dirinya sebagai korban dari suatu situasi. Kauletan sendiri dapat ditingkatkan. Salah satu contoh yang disebutkan adalah riset AQ oleh Stoltz pada beberapa atlet perenang. Para atlet tersebut tidak diberitahu bahwa mereka sedang menjalani pelatihan AQ. Diam-diam Stoltz menambah perolehan waktu renang mereka. Tentu saja mereka kaget. Hasilnya, para atlet yang mendapatkan hasil yang lumayan tinggi berusaha lebih keras hingga dapat menaikkan skornya, sedangkan atlet yang nilainya rendah (mereka menganggap dirinya lemah/korban), sehingga mereka hanya mendapatkan skor yang tidak jauh beda dari sebelumnya.
Menurut kajian neuroscience saat kita belajar sesuatu itu terjadi pada cerebal cortex tepatnya dengan pembuatan jalur syaraf baru. Kondisi ini masih dalam wilayah sadar kita. Kemudian, jika suatu hal dilakukan secara terus menerus maka jaringan atau jalur syaraf itu semakin kuat hingga nantinya akan berpindah ke wilayah bawah sadar otak atau biasa disebut basal ganglia. Itu adalah wilayah dimana segala kebiasaan kita disimpan.
Nah, untuk meningkatkan AQ dalam sekejap itu perlu adanya pembiasaan yang dimulai dari kejutan seperti pada pembiasaan untuk menghindari panci panas. Sehingga, dalam kondisi tersebut memungkinkan pembentukan jalur syaraf baru di cerebal cortex. Karena itulah, kita perlu berada dalam kondisi sadar saat kesulitan datang. Caranya supaya sadar adalah dengan beberapa teknik stoppers. Namanya, stoppers karena teknik ini dimaksudkan untuk memberhentikan kebiasaan lama kita (AQ rendah, seperti mengeluh, menyerah, dan lain sebagainya) sehingga kita dapat memulai rangkaian langkah-langkah LEAD).
Cara yang bisa diterapkan adalah dengan mengatakan "STOOOOPPPP!!1" sekencang-kencangnya saat kita menyadari ada masalah datang. Kemudian, bisa juga dengan memusatkan perhatian pada benda yang tidak ada hubungannya, seperti pulpen, solasi, dll. Supaya, kita bisa mengalihkan fokus kita dari pemikiran destruktif. Hal lain yang bisa dilakukan adalah, menjepret diri dengan karet gelang (agak sakit sih ini, tapi unik juga), berolahraga, mengingat tujuan awal mendaki, membantu orang lain, dan melakukan hal-hal pengalih perhatian yang lain seperti menonton, jalan-jalan di taman, nongkrong di kafe, dll.
Nah, demikian pembahasan isi buku karya Stoltz ini. Semoga bermanfaat dan dapat menjadi bekal tambahan kita sebagai seorang pendaki.
Berikut ada beberapa kutipan yang ada di buku ini yang menurut saya menarik untuk kita renungkan.
Nah lhooo, siapa nih yang suka bilang,
"Aduh miss, saya emang ngga bisa Bahasa Inggris."Sedih saya tuh kalo denger siswa yang bilang kaya gini. Karena secara tidak sadar mereka menutup potensi dalam dirinya. Cobalah mulai membuka diri dan tidak menyalahkan diri sendiri atas kesulitan yang ada.
Ada satu lagi kecocokan hasil penelitian Carol Dweck dengan temuan saya di lapangan. Yakni, adanya perbedaan anak perempuan dan laki-laki dalam merespons kesulitan. Beliau menyatakan bahwa anak perempuan cenderung menganggap kesulitan tersebut dapat berlangsung lama dan dapat mempengaruhi aspek kehidupan yang lain. Misalnya, anak perempuan yang dikejar deadline mengatakan,"Aduh, kalau tugasnya ngga selesai nanti diomelin Bu Guru, terus nilainya pasti jelek. Nanti gimana tanggapan Papa Mama. Aku takuuuttt..." Alih-alih mengatakan hal tersebut, anak laki-laki akan langsung to the point pada tugasnya tanpa berfikir kemana-mana. Kondisi inilah yang terjadi dalam diri saya dan beberapa peserta didik saya. Saya sering sekali panik saat kesulitan datang dan cenderung menyalahkan diri saya atas hal buruk yang terjadi. Situasi yang sama juga sering terjadi pada peserta didik perempuan yang salah saat mengerjakan soal atau saya minta untuk berbicara. Mereka akan berkata,"Saya memang tidak bisa Bahasa Inggris, Ms," atau "Aduh kalo salah gimana ms? Nanti kalo nilainya jelek diomelin Mama."
Dweck mengatakan ini adalah efek gaya didikan pada waktu kecil yang akhirnya mempengaruhi cara mereka merespons kesulitan di masa depannya. Tentu ini tidak menutup kemungkinan ada anak perempuan yang mempunyai respon berbeda ya, hanya saja banyak anak perempuan yang memiliki kencenderungan seperti itu. Bahkan saya menemui ada banyak teman perempuan saya yang kuat dan biasa saja saat menjumpai kesulitan.
Pada poin ini, Stoltz juga menyinggung tentang keuletan atau tahan banting. Beliau menyatakan bahwa orang yang memiliki keuletan dalam menghadapi kesulitan dapat memiliki kehidupan yang lebih sehat dan kualitas hidup yang lebih baik dari pada orang yang berpikiran dirinya sebagai korban dari suatu situasi. Kauletan sendiri dapat ditingkatkan. Salah satu contoh yang disebutkan adalah riset AQ oleh Stoltz pada beberapa atlet perenang. Para atlet tersebut tidak diberitahu bahwa mereka sedang menjalani pelatihan AQ. Diam-diam Stoltz menambah perolehan waktu renang mereka. Tentu saja mereka kaget. Hasilnya, para atlet yang mendapatkan hasil yang lumayan tinggi berusaha lebih keras hingga dapat menaikkan skornya, sedangkan atlet yang nilainya rendah (mereka menganggap dirinya lemah/korban), sehingga mereka hanya mendapatkan skor yang tidak jauh beda dari sebelumnya.
Batu 2 : Ilmu Kesehatan
Ada hubungan langsung antara bagaimana kita merespons kesulitan dengan mental dan fisik kita. Kemampuan mengendalikan sangat penting bagi kesehatan dan umur panjang. Bagaimana seseorang merespons kesulitan mempengaruhi fungsi-fungsi kekebalan, kesembuhan, dan kerawanannya terhadap suatu penyakit. Selain itu, pola respons yang lemah terhadap kesulitan dapat menimbulkan depresi.Batu 2 : Ilmu Pengetahuan Tentang Otak
Berapa waktu yang diperlukan untuk membentuk suatu kebiasaan?Pertanyaan itu pasti akan kita jawab 21 hari. Namun, ternyata Stoltz menemukan jawaban yang berbeda. Karena tidak pernah mendapat jawaban yang memuaskan dari pernyataan "21 hari" itu akhirnya beliau menemui Dr. Mark Nuwer, kepala neurofisiologi di UCLA Medical Center. Dari pertemuannya dengan Dr. Nuwer, Stoltz mendapatkan jawaban yang mencengangkan. Ternyata, kebiasaan sebenarnya dapat dibentuk dalam waktu yang sekejap. Seperti saat kita belajar untuk tidak menyentuh tungku yang panas. Karena kita tahu pasti tungku itu panas, jadi secara langsung kita tidak akan menyentuh tungku tersebut. Muncul kesadaran langsung di sana. Melihat fakta ini, tentu saja membuka peluang adanya perubahan AQ secara mendadak yang pastinya akan menjadi berkah luar biasa dalam kehidupan seseorang. Tentunya perubahan AQ yang positif ya, misalnya dari seorang quitter berubah menjadi camper atau langsung jadi climber.
LEAD : Solusi memperbaiki AQ
Sebelum membahasa apa itu LEAD, perlu kita ketahui bahwa AQ sama halnya dengan IQ, keduanya sama-sama mempunyai tes. Dari tes tersebut, kita bisa mengetahui sejauh mana AQ seseorang. Namun, saat membaca buku ini akhirnya saya putuskan untuk tidak mengerjakan bagian tesnya. Karena, saya sudah tahu teorinya terlebih dahulu, jadi jawaban yang saya berikan bukan berdasarkan pada apa yang ada pada diri saya, namun berdasarkan teori (pilih yang bagus-bagus aja ah...). Jadi, bagi calon pembaca selanjutnya, lebih baik kalian mengerjakan tesnya dulu baru kalian tahu teorinya.
Tes AQ lebih menekankan pada cara pandang kita mengenai suatu masalah. Istilah penyebutan tesnya adalah Adversity Response Profile. Isi tesnya mencakup hal-hal yang kemudian disebut sebagai CO2RE.
Nah, setelah mengetahui kriteria penialaiannya, silahkan nilai sendiri tingkat AQ anda. Kalau ingin mencoba mengerjakan Adversity Response Prifile bisa didapatkan di bukunya.
Nah, kembali ke judul sub-bab. LEAD merupakan suatu akronim yang berasal dari listen, explore, analyze, dan do. Listen diartikan sebagai mendengarkan respon kita terhadap kesulitan. Dalam hal ini, kita harus sadar dulu kalau ada kesulitan sehingga nantinya bisa menentukan respon yang tepat. Explore berarti mengetahui asal usul masalah dan mengakuinya serta bertanggung jawab atas dampaknya. Selanjutnya adalah analyze. Dalam tahap ini, kita menganalisa bukti-bukti apakah kesulitan itu dapat benar-benar berdampak pada kehidupan kita. Ini erat kaitannya pada reach. Kita juga menganalisa apakah ada hal-hal yang bisa kita lakukan saat ini. Jadi, kalau ada masalah dan merasa masalah itu dapat merembet ke aspek-aspek lain, yang perlu kita lakukan bukannya berpangku tangan sambil manunggu bantuan (ya kalo ada bantuan), namun kita harus mulai menyadarkan diri bahwa rembetan masalah itu hanya di pikiran kita dan belum terjadi. Tidak ada buktinya "saat ini" bahwa apa yang kita prediksi itu akan benar-benar terjadi. So, masih ada waktu untuk take action.
Menurut saya, pembahasan tentang stoppers ini adalah bagian yang paling lucu karena akan ada beberapa teknik yang aneh disini."Mulailah berpikir dari apa yang kita ketahui saat ini, bukan apa yang kita asumsikan. "(Stoltz)Nah, langkah yang terakhir adalah do. Lakukan! mulai lakukan hal-hal yag bisa meminimalisir atau bahkan menyelesaikan kesulitan itu. Itulah rangkaian LEAD yang diusulkan oleh Stoltz. Intinya, untuk meningkatkan AQ itu tidak perlu kebanyakan galau and so nothing. Kerjakan saja apa yang bisa dikerjakan saat ini.
STOPPERS!!!!
Menurut kajian neuroscience saat kita belajar sesuatu itu terjadi pada cerebal cortex tepatnya dengan pembuatan jalur syaraf baru. Kondisi ini masih dalam wilayah sadar kita. Kemudian, jika suatu hal dilakukan secara terus menerus maka jaringan atau jalur syaraf itu semakin kuat hingga nantinya akan berpindah ke wilayah bawah sadar otak atau biasa disebut basal ganglia. Itu adalah wilayah dimana segala kebiasaan kita disimpan.
Nah, untuk meningkatkan AQ dalam sekejap itu perlu adanya pembiasaan yang dimulai dari kejutan seperti pada pembiasaan untuk menghindari panci panas. Sehingga, dalam kondisi tersebut memungkinkan pembentukan jalur syaraf baru di cerebal cortex. Karena itulah, kita perlu berada dalam kondisi sadar saat kesulitan datang. Caranya supaya sadar adalah dengan beberapa teknik stoppers. Namanya, stoppers karena teknik ini dimaksudkan untuk memberhentikan kebiasaan lama kita (AQ rendah, seperti mengeluh, menyerah, dan lain sebagainya) sehingga kita dapat memulai rangkaian langkah-langkah LEAD).
Cara yang bisa diterapkan adalah dengan mengatakan "STOOOOPPPP!!1" sekencang-kencangnya saat kita menyadari ada masalah datang. Kemudian, bisa juga dengan memusatkan perhatian pada benda yang tidak ada hubungannya, seperti pulpen, solasi, dll. Supaya, kita bisa mengalihkan fokus kita dari pemikiran destruktif. Hal lain yang bisa dilakukan adalah, menjepret diri dengan karet gelang (agak sakit sih ini, tapi unik juga), berolahraga, mengingat tujuan awal mendaki, membantu orang lain, dan melakukan hal-hal pengalih perhatian yang lain seperti menonton, jalan-jalan di taman, nongkrong di kafe, dll.
Nah, demikian pembahasan isi buku karya Stoltz ini. Semoga bermanfaat dan dapat menjadi bekal tambahan kita sebagai seorang pendaki.
Berikut ada beberapa kutipan yang ada di buku ini yang menurut saya menarik untuk kita renungkan.
Jangan pernah mengukur tinggi sebuah gunung sebelum Anda mencapai puncaknya. Karena, Anda kemudian akan melihat betapa rendahnya gunung itu.
(Dag Hammarskjold)
Ah, ia sampai pada akhir hayatnya dan menyadari bahwa ia tidak pernah hidup.
(Henry David Thoreau)
Semua kesulitan sesungguhnya merupakan kesempatan bagi jiwa kita untuk tumbuh.
(John Gray)
Peristiwanya tidaklah penting, tetapi respons terhadap peristiwa itu adalah segala-galanya.
(I Ching)
Dari semua sifat yang bisa kita pelajari, tidak ada watak yang lebih bermanfaat, lebih penting bagi kelangsungan hidup, lebih besar dari kemungkinannya untuk memperbaiki mutu kehidupan, daripada kemampuan untuk mengubah kesulitan menjadi tantangan yang menyenangkan.
1 Komentar
Mantap..Bu guru
BalasHapus