Literasi di Sekolah



Beberapa hari lalu saya bersama beberapa teman pengajar melaksanakan program diskusi yang kami beri nama “Lesehan Pendidikan.” Diskusi ini merupakan salah satu agenda rutin dua mingguan yang bertempat di Taman Baca Sahabat Senja dan disiarkan langsung via facebook. Dimulai  sejak tanggal 14 Juli 2018, sudah kedua kallinya acara ini terlaksana dan ternyata mendapat sambutan yang positif dari berbagai pihak.

Banyak manfaat yang dapat dipetik dari diskusi semacam ini. Selain dapat bertukar informasi terkini, ternyata kegiatan ini juga dapat melatih kami dan khususnya saya sendiri untuk fokus dan berfikir kritis. Karena, jujur saja akhir-akhir ini saya merasa sangat malas untuk memikirkan tema-tema yang sedikit serius. Ditambah lagi setelah saya lulus dari universitas, kegiatan-kegiatan semacam diskusi ini sangat terbatas. Saya lebih banyak menghabiskan waktu saya di sekolah dengan kegiatan mengajar dan mengurus administrasi. Sehingga, menurut saya agenda diskusi bisa menjadi salah satu solusi untuk merefresh memori dan mindset. Hanya saja, kita harus meluangkan waktu dan meninggalkan zona nyaman di hari libur. Karena, acara ini akan berlangsung hanya di akhir pekan. Bagi yang mau join silahkan scan alamat yang ada di flyer di bawah ini atau tonton video live nya di facebook dengan nama akun Dhofier Lee.

Materi yang kami bahas di pertemuan kemarin yakni tentang Perkembangan Literasi di Sekolah. Topik ini cukup menarik karena literasi merupakan salah satu aspek yang cukup mendapat sorotan  di kurikulum kita saat ini. Bahkan saat melaksanakan akreditasi sekolah tahun lalu, ada pula poin tentang literasi di sekolah.

Kesan pertama saat mendengar “Literasi di Sekolah”

Pemahaman awal yang muncul di benak saya saat mendengar topik ini adalah “kegiatan membaca di sekolah.” Namun, ketika literasi diartikan sebagai aktivitas membaca buku saja, seperti yang saya pahami sebelumnya, maka sebenarnya anak-anak Indonesia telah menjalani kegiatan ini di setiap harinya. Bayangkan saja, para siswa telah berada di kelas kira-kira sejak pukul 07.30 hingga 15.00 dan selama itulah mereka berinteraksi dengan buku-buku. Para guru pun bisa saja kalah literasinya jika kita membatasi literasi hanya dari sudut pandang ini.

Lalu mengapa dengan kegiatan membaca dan menulis di sekolah selama kurang lebih 7-8 jam masih menjadikan pemerintah mencanangkan program literasi dan menjadikan program ini dipandang penting? Tak main-main dengan program itu, pemerintah juga berani mengeluarkan budget yang tidak sedikit untuk memfasilitasi sekolah dengan bertumpuk-tumpuk buku bacaan.

Kondisi literasi kita.

Ternyata, dengan durasi selama itu tidak membuat Indonesia menjadi negara yang memiliki kemampuan literasi yang baik. Ini terbukti dengan hasil studi Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2012 yang menempatkan kemampuan reading  atau membaca siswa di Indonesia pada peringkat ke-57 dari 65 negara. Kenyataan ini tentunya memunculkan gap atau kesenjangan antara durasi membaca siswa dengan hasil yang ada.

Sudahkah siswa membaca efektif?

Membaca efektif bisa diartikan dengan kegiatan membaca dengan tempo yang relatif cepat dan memahami bacaan tersebut dengan baik. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, siswa di Indonesia rata-rata menghabiskan waktu 5-8 jam di sekolah. Selama durasi itu, mereka sudah terbiasa berinteraksi dengan buku. Namun, sudahkah mereka membaca secara efektif?

Kenyataannya, sebagian besar siswa hanya membaca cepat saja untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan di LKS  atau pertanyaan yang diajukan oleh guru tanpa mendapatkan pemahaman yang baik. Dengan kata lain , kegiatan membaca buku hanya dijadikan sebagai penggugur kewajiban menyelesaikan soal saja, bukan diniatkan untuk getting the point.

Tentu, kita tidak bisa mengeneralisir semua siswa di Indonesia seperti itu. Pasti ada sebagian siswa Indonesia yang berlaku sebaliknya. Namun, sudah saatnya budaya membaca efektif ini kita canangkan kembali. Sehingga, aktivitas membaca buku diniatkan untuk mempelajari makna di dalamnya dan tidak hanya sekedar melihat buku dan menentengnya kemana-mana.

Lalu, apakah goal sebenarnya dari Program Literasi di Sekolah?

Tentu dengan adanya literasi di dalam kurikulum, menjadikan hampir di setiap sekolah berlomba-lomba membuat program untuk menumbuhkan dan mengembangkan budaya literasi bagi para siswanya. Namun, terkadang goal atau tujuan utama dari program ini sering diabaikan.

 “Pokoknya kalau program literasi itu harus membuat siswa jadi suka baca, kemana-mana bawa buku, baca buku di sudut-sudut sekolah, dan membuat mereka jadi orang kritis, deh,” kata hati saya sebelum diskusi ini.

Ya memang literasi itu identik dengan membaca buku. Namun, tidakkah kita terlalu membatasi literasi itu sendiri dengan pemahaman semacam ini? Buku itu ada bermacam-macam bentuk, ada yang cetak dan ada yang digital. Selain itu, informasi juga tidak melulu didapatkan dari buku. Untuk anak-anak jaman sekarang yang kesehariannya selalu berinteraksi dengan smart phone,  sepertinya pemahaman literasi seperti ini memang sangat kuno dan sempit.

Kasus yang terjadi pada salah satu murid saya di sekolah, sebut saja namanya Syakir. Dia tidak terlihat seperti anak rajin dan cerdas yang diidentikan dengan kalem, suka baca buku dimana-mana, berpikir kritis, dan lain-lain. Namun kenyataannya, kemampuannya di bidang akademis maupun non akademisnya tidak diragukan lagi. Dia sering menjuarai lomba akademis seperti Bahasa Inggris dan sering menunjukkan performance yang luar biasa di pertandingan basket dan sepak bola. Bahkan kemampuan analisisnya bisa dikatakan lebih dari anak-anak berciri  anak cerdas yang disebut di atas.

Melihat contoh kasus ini, tentu tujuan program literasi bukan hanya sekedar menjadikan anak-anak membaca buku apapun di setiap tempat yang mereka kunjungi. Tujuan literasi harus dikembangkan lagi dengan melihat potensi anak. Dengan menunjukkan  sumber-sumber informasi yang sesuai dengan minatnya akan lebih efektif dari pada menyodori anak dengan bahan bacaan yang belum tentu ia sukai.  Sumber informasi bisa berasal dari buku ataupun media digital denga bentuk yang beragam. Bisa dalam bentuk video, audio, ataupun tulisan. Dengan cara ini, maka anak-anak akan dengan sendirinya melek informasi.

Guru sebagai agen perubahan.

Berdasarkan istilah sayang saya temui di kampung saya dulu, guru itu berarti digugu dan ditiru—guru diteladani dan diikuti. Maka, sudah selaiknya guru menjadi agen perubahan. Artinya, guru harus bisa menjadi contoh pelaksanaan literasi di sekolah. Sebelum fokus pada pengembangan literasi di kalangan anak didik, guru sebaiknya mengembangkan minat literasinya terlebih dahulu. Karena, kadang siswa kurang melek literasi bukan karena mereka tidak mau,melainkan karena mereka tidak tahu apa yang harus mereka baca, lihat, dan dengarkan. Oleh sebab itu, guru bisa menjadi contoh dan inspirasi bagi siswa dalam membangun minat terhadap literasi.


Penumbuhan budaya literasi yang baik

Anak jaman now dan teknologi adalah satu kesatuan. Sering kita jumpai anak-anak mencari informasi dari internet ataupun buku cetak. Kemudian,saat mereka ingin menggunakannya sebagai materi di tulisan, sangat jarang kita jumpai mereka menulis sumberkutipan artikel tersebut. Untuk itu, perlu adanya pengenalan etika dalam pengambilan materi baik dari internet maupun media cetak. Bahwasanya, literasi bukan hanya sekedar membaca, melihat, dan mendengar saja, melainkan juga mencakup cara pengolahannya hingga menjadi produk literasi baru. Jangan sampai program literasi hanya berujung pada berkembangnya budaya plagiarisme.

Wadah untuk hasil literasi juga perlu dikenalkan. Diantara produk tersebut adalah buletin sekolah, mading, maupun media digital lainnya yang dapat menapung hasil pengolahan informasi siswa. Hal ini tentunya sangat menarik, karena siswa dapat berkompetisi menghasilkan produk literasi mereka secara bebas tanpa terikat dengan nilai guru dan pastinya diapresiasi oleh seluruh warga sekolah.


Hasil diskusi 28 Juli 2018
@ TBM Sahaba Senja


Posting Komentar

0 Komentar